Suporter Jangan Mempunyai Pribadi Yang Brengsek

Dunia Suporter sudah ada sejak zaman Purba. Di dalam setiap hal, manusia selalu mencari dukungan. Di dunia Spartan, di Yunani atau Dunia Gladiator, masing-masing jagoan memiliki suporter yang maniak.
Ketika zaman mulai merambah ke era modern, khususnya olah raga yang di identikan sebagai soft war atau perang lembut, adalah ajang simple untuk melampiaskan segala ekspresi pemain atau pendukung. Lihat saja dalam Piala Dunia. Suporter tampil bukan sekedar mendukung tim tertentu, tetapi sudah menjadi kesadaran nasionalisme.
Sementara di indonesia, saya melihat tradisi suporter bukan murni kekuatan cinta olah raga. Tetapi lebih ke arah chaufimisme, alias persoalan primordial. Banyak pendukung atau suporter bola misalnya, lebih menekankan aspek kedaerahan mereka masing-masing. Mereka yang dari Malang, Surabaya, Bandung, dsb. Membuat Saya khawatir, olah raga bukan untuk meningkatkan persatuan dan kesatuan, tetapi menjadi jurang primordial kesukuan dan kedaerahan.
Viking dan Jakmania, bicara Viking adalah bicara Bandung, bicara Jakmania adalah bicara Betawi. Keduanya memiliki kultur yang berbeda meski ada juga kesamaannya. kalau dilihat dari sejarah, sejak jaman Siliwangi, kondisi Betawi yang kemudian menjadi Jayakarta adalah hasil kemenangan Fahtahilah, yang juga tangan panjang dari Sunan Gunung Jati. Sementara Bandung memiliki sejarah kuat dalam kehinduan dan kesundaan sebagai sisa-sisa kerajaan Siliwangi. Tapi saya kira, anak-anak Viking atau Jakmania tidak melihat itu.
Mereka sama saja dengan suporter-suporter daerah lain. Cobalah lihat sejarah, para pengurus PSSI juga terkadang sangat diskriminatif kepada Persija atau Persib, kedua belah pihak ini kadang kurang diuntungkan atau satu di antaranya diuntungkan. Implikasinya jelas, yakni kecemburuan, maka akan lahir sosok suporter yang bukan hanya mendukung, tetapi menjadi  dendam dan ini berlangsung secara turun temurun.
Saya kira konsep olah raga yang kita jalani, perlu ada pembenahan, asal tahu saja, orang-orang yang datang sebagai suporter, itu datang dengan segala perasaan, di antaranya soal ketidakadilan, sistem yang tidak jelas, penghargaan yang rendah kepada atlit dan tentu saja penanganan hukum yang brengsek.
Mestinya, konsep olah raga bukan sekedar ajang kompetisi, tetapi sebagai jejaring untuk mengikat kekuatan Bangsa. di Eropa, suporter memang sangat cerdas, karena mereka juga di fasilitasi oleh nagara dan klubnya masing-masing. Ingat, fasilitas itu bukan berhenti pada kaos, konsumsi dan transportasi.
Sekedar usulan, klub-klub sepak bola di tanah air mestinya membuka kursus, latihan kerja, diklat, dan pendidikan wiraswasta kepada para pendukungnya. Bayangkan bila setiap propinsi menggelar ini dan ini sangat mungkin. Ketika mereka sudah terjaring dalam kesatuan klub yang kuat, baru kita masukkan kesadaran tentang apa yang sebenarnya sedang bertanding.
Belum lagi, perwasitan kita juga punya kontribusi dengan maraknya aksi “marah” dari para suporter. Saat di jaman Soekarno ada ungkapan, “Pejah Gesang, Nderek Bung Karno,” yang artinya kira-kira mati hidup ikut Bung Karno, itu adalah ekspresi.
Memang, gagasan mengikuti segala sesuatu yang digandrungi, punya potensi dan implikasi keimanan. jangankan anak-anak muda yang masih bau kencur, kadang orang yang sudah bangkotan saja, seringkali menuhankan para kyai, ulama tertentu, bahkan menuhankan amal ibadahnya sendiri, terkadang tanpa sadar, kita juga menuhankan diri kita sendiri, menuhankan amal, menuhankan ilmu dan seterusnya, ini yang kemudian disebut egois.
Sebagai suporter, wajar saja muncul ekspresi demikian, ini juga berlangsung pada para maniak lainnya. Bagi mereka yang akrab dengan Sepultura, Iron Maiden, Black Sabath, mungkin biasa mendengar betapa mereka sangat memuja, mereka bisa stress bahkan pingsan bila menyaksikan konser mereka karena saking mendewakannya, untuk para suporter, ekspresi yang keluar saya kira tak sepenuhnya memiliki akar kuat secara ideologis, artinya itu hanya basa basi anak-anak muda, apalagi anda lihat sendiri, kebanyakan para suporter yang sampai “nakal” begitu adalah anak-anak SMP yang lagi senengnya tawuran.
Nah, ini harus dilihat, terkadang anak ingin melebarkan sayap tawurannya, kalau selama ini tawuran antar sekolah, sekali-kali harus tawuran antar kota, antar daerah, antar propinsi. ya kira-kira begitu.
Bila bicara solusi, memang rumit. karena kita harus ke akarnya. kalau kita hanya menyelesaikan kasus per kasus, akan muncul lagi kasus yang lain, akarnya adalah bangsa ini!, Selagi bangsa ini digarap dengan brengsek, maka akan melahirkan perilaku apa pun yang brengsek, dunia kesenian yang brengsek, kebudayaan yang brengsek, olah raga yang brengsek, hingga kesadaran agama yang brengsek. Negara ini masih tidak memiliki sikap dan ketegasan terhadap persoalan yang menyuluruh.
Lihat saja dalam realitas, ketika sepak bola nasional naik daun kemarin pada piala AFF, semua tiba-tiba pada bermunculan, lalu para politisi ikut-ikutan membantu dan memberikan Kontribusi. Nah selama ini pada kemana?
Olah raga tidak cukup dengan bantuan uang dan gedung, olah raga bukan hanya sarana fisik semata. tapi manusianya!. Kita harus pastikan, yang menggarap kompetisi adalah yang jujur, yang jadi panitia yang jujur, yang jadi juri juga jujur, yang jadi koordinator lapangan juga yang jujur, termasuk bagaimana para suporter di ladeni, mereka adalah anak-anak bangsa yang butuh ekspresi, mereka adalah anak-anak negeri yang juga ingin diakui.
Mungkin sebagai solusi sederhana, para klub manapun harus menjamin para suporternya masing-masing. Dari sini kemudian setiap klub akan punya agenda tertentu untuk mengikat kesetiaan para suporter, kesetian apa? kesetiaan menjaga kehormatan KLUB. bukan kesetiaan menjaga arogansi Klub.

 

Bila Persija mau maju, persija harus mampu memanagemen para suporternya, menjadi pribadi yang berkarakter. Bila Viking mau oke, mereka harus memberikan penyadaran bahwa Viking adalah kehormatan, bukan kebrutalan. Siapa yang melakukan? semua!, Mulai dari pemain, manajer, investor, termasuk para pemerintah daerah masing-masing.
Aspirasi saya, Jangan kotori kemurnian dan sprotivitas olahraga dengan anarki, jangan kotori keagungan olah raga dengan ego lokal dan semangat merasa hebat sendiri, kita satu, jadilah sepak bola yang utuh, yang bulat, yang bisa dibawa siapa saja, kemana saja dan mengikuti dengan setia, kemana si pemain membawanya.
Meski saya bukan olah ragawan, saya sangat percaya bahwa pribadi bangsa yang kokoh harus dimulai dengan anak bangsa yang sehat, tentu saja jangan berhenti di kesehatan fisik semata, harus dilanjutkan pada kesehatan mental dan spiritual, saat ini mungkin banyak yang sehat fisiknya, tapi sakit jiwanya.
Terima kasih untuk upaya Anda memajukan olah raga di tanah air, Saudara pasti bisa, nikmati dan santai di manapun saudara ditempatkan. (PA)

Sumber: TheJakmania.Net

0 komentar:

Posting Komentar


 
Copyright © 2010 - 2012 Orencakra. All rights reserved.
Themes by Putra l Orencakra Organisasi | Powered By Blogger